Perpres 112/2007
Lebih Berpihak kepada Pasar Modern
Pengantar
Kehadiran pasar modern yang bisa hidup berdampingan dengan pasar tradisional menjadi impian masyarakat. Agar hal itu terwujud, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2007. Untuk membahas terbitnya Perpres tersebut, wartawan SP Elvira Anna menyajikan tulisan berikut ini.
ati sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional di Indonesia sempat berbunga-bunga, sebab pemerintah telah merespons tuntutan mereka.
Sebuah aturan main pasar ritel modern dengan pasar tradisional, diterbitkan dengan lahirnya Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
Perpres yang dikenal dengan Perpres Pasar Modern itu, aktif diberlakukan sejak akhir tahun 2007 lalu. Perpers yang digodok selama lebih dari 2,5 tahun berlaku sejak Kamis (27/12/2007) lalu, menghasilkan aturan main di kalangan peritel modern dan pedagang tradisional.
Namun, kegembiraan para pedagang tradisional itu seakan sirna, sebab ketentuan baru itu ternyata tetap saja lebih berpihak kepada pasar ritel modern. "Keberadaan Perpers sangat jelas melindungi dan berpihak pada keberadaan pasar ritel modern, mulai dari izin, lokasi, bahkan sampai trading term (perjanjian dagang) antara pemasok dengan pasar ritel modern," kata Sekretaris Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran.
Dalam Pasal 4 Perpres 112/2007, Pemerintah Daerah (Pemda) wajib menentukan jarak antara hypermarket dengan pasar tradisional. Ketentuan itu sudah ada pada ketentuan sebelumnya, namun faktanya tidak dipatuhi.
"Karena itu, APPSI meminta peraturan tersebut bisa dituangkan dalam Perda ataupun Keputusan Gubernur, dengan mengacu pada UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 38/2004 tentang Jalan, dan Rencana Tata Ruang setempat," kata Ngadiran.
Dalam Perpres Nomor 111 Tahun 2007 tentang Daftar Negatif Investasi dan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 itu kata Ngadiran, hanya diperuntukan bagi peritel modern, pemasok, dan produsen barang.
Sementara kalangan pedagang tradisional tetap mendapat gambaran "abu-abu" atau tidak tegas mengenai zonasi (jarak) pasar tradisonal dan pasar ritel moderen.
"Bagi pedagang pasar tradisional yang terpenting adalah jarak. Pendirian pasar retail moderen seharusnya tidak merugikan pedagan kecil dan warung pemukiman, atau mematikan rezeki orang. Faktor vital tersebut yang justru belum dijembatani oleh pemerintah," papar Ngadiran.
Di lain pihak, izin pasar tradisional hanya diberikan maksimal 20 tahun oleh pihak pengelola atau PD Pasar Jaya. Lebih dari 20 tahun pedagang harus membayar jasa kontrak kepada pengelola. Ngadiran mengatakan, perbedaan perolehan izin tersebut, sekaligus membuktikan ketidakpedulian pemerintah pada rakyat kecil.
Ngadiran berharap, kewajiban pusat perbelanjaan moderen bermitra dengan UKM, dengan menyediakan tempat usaha dengan harga jual atau sewa yang terjangkau, seharusnya dipatuhi. Dengan demikian, keberadaan pasar ritel moden tidak lagi dianggap saingan oleh pedagang kecil.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, kehadiran Perpres 112/2007 bertujuan menciptakan ketertiban persaingan dan menyeimbangkan kepentingan produsen, pemasok, toko moderen, dan konsumen. Diharapkan, melalui Perpres, perkembangan sarana perdagangan eceran moderen skala besar tidak menimbulkan permasalahan sosial, ekonomi, dan politik dengan kalangan pedagang tradisonal.
"Inti Perpres tersebut adalah zonasi (jarak) dan tata ruang untuk mengatur lokasi pasar dan pusat perbelanjaan toko modern, tata tertib persaingan untuk pemasok ke toko moderen, terutama UKM, serta kemitraan dan pemberdayaan usaha kecil," kata Mari.
Namun, para pedagang tradisional menilai, pemerintah lebih banyak memberi peluang bagi mereka untuk berkembang. Mungkin karena penilaian bahwa pasar ritel modern dianggap lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi baru di berbagai lokasi perbelanjaan.
Untuk satu unit toko ritel modern, seperti Carrefour, yang dalam satu tempat menyediakan berbagai macam kebutuhan rumah tangga, dibutuhkan modal yang tidak sedikit, minimal Rp 10 miliar sampai Rp 20 miliar. Modal tersebut masih bisa bertambah bergantung pada lokasi, luas toko, dan status tanah, apakah sewa atau menjadi milik sendiri.
Ketua Departemen Hypermarket, yang sekaligus menjabat sebagai Coorporate Secretary Hero, Vivian Goh mengatakan, investasi untuk satu toko ritel modern sangat besar. Apalagi lokasinya strategis, otomatis pembayaran diberikan dalam bentuk dolar, bukan rupiah.
Meski investasinya besar, kenyataannya kehadiran pasar ritel modern menjamur di berbagai lokasi, bahkan merambah hingga ke permukiman padat penduduk. Uniknya, dalam satu ruas jalan, bisa kita temukan dua atau lebih pasar ritel moderen, yang letaknya saling berhadapan, atau bahkan berdampingan dengan pasar tradisional. Tentu sekalui, karena keuntungan yang dipetik juga cukup besar.
Sebagai contoh, Carrefour Kramat Jati berdampingan dengan Pasar Kramat Jati. Giant Kalibata, letaknya juga berada di sekitar warung-warung kecil di pemukiman penduduk.
Data dari AC Nielsen menunjukan, pertumbuhan pasar tradisional jauh tertinggal dengan pasar retail modern. Pada 2006, pertumbuhan pasar tradisional Indonesia hanya 3,2 persen. Tahun 2005 jumlahnya 1,78 juta, tahun 2006 menjadi 1,84 juta pasar. Sementara pertumbuhan pasar ritel modern mencapai 14 persen, dari 7.713 tahun 2005 menjadi 8.798 tahun 2006.
Sementara berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), pertumbuhan ritel modern di DKI Jakarta menempati posisi dominan, yakni 74,83 persen dibandingkan pasar tradisional sekitar 25,17 persen.
Menurun
Pertumbuhan pasar ritel moderen memang cukup pesat, yang secara perlahan justru mematikan pendapatan pedagang pasar tradisional. Omzet seorang pedagang pasar tradisional, yang biasanya bisa mencapai Rp 700.000-Rp 800.000/hari, saat ini hanya rata-rata Rp 300.000/hari.
Yayat (35), pedagang sayuran di Pasar Kramat Jati mengaku, susah mencari pembeli semenjak Carrefour Kramat Jati mulai aktif. Biasanya, dalam sehari, Yayat bisa menjual sampai 20 kilogram wortel atau 100 ikat kangkung dan bayam. "Saat ini, bisa terjual 10 kilogram saja sudah beruntung. Posisi kami sebagai pedagang kecil terjepit dengan kehadiran Carrefour, yang juga menyediakan sayuran dan buah segar.
Apalagi jam buka Carrefour dengan pasar tidak beda jauh. Kalau seperti ini terus, lama-lama pedagang memilih gulung tikar daripada berjulan tanpa untung," kata Yayat saat ditemui SP, pekan lalu.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, pedagang pasar tradisional tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pertumbuhan pasar ritel moderen. Berdasarkan fakta, masyarakat berpendapatan menengah ke atas lebih memilih berbelanja di pasar ritel modern dibandingkan pasar tradisional.
Masalah kenyamanan, kebersihan, dan keramahan pelayanan pasar ritel modern jelas lebih unggul daripada pasar tradisional. Pengunjung pasar ritel modern tidak dipusingkan dengan tawar-menawar harga, bau yang tidak sedap, dan becek karena lantai yang kotor.
Ditambah lagi, dalam satu lokasi pengunjung bisa menemukan banyak pilihan produk, mulai dari bahan pokok sampai alat-alat rumah tangga.
"Pedagang tradisional jangan hanya mengeluh keberadaan pasar modern mematikan pendapatan atau keuntungan. Seharusnya, pedagang dan pengelola pasar bisa berbenah diri untuk memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik untuk pembeli. Apabila suasana dibuat nyaman dan bersih, dipastikan pembeli akan kembali lagi berbelanja di pasar tersebut," kata Tutum.
Tentang kebersihan dan kenyamanan pasar tradisonal, itu, APPSI mengaku telah berkali-kali meminta pengelola pasar, dalam hal ini PD Pasar Jaya, untuk memperbaiki pasar yang rusak dan konsisten membersihkan pasar.
Sebab, pedagang pasar sendiri telah membayar biaya sewa, biaya kebersihan, biaya keamanan, dan biaya retribusi lain kepada pengelola. "Tidak ada alasan pengelola tidak memiliki biaya perawatan," kata Ngadiran. *
Minggu, 17 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar